Senin, 17 Maret 2014

upacara


Masyarakat Adat Lewolema Adakan Upacara Pa’u Kaka Bapa

Masyarakat Adat Lewolema Adakan Upacara Pa’u Kaka Bapa

LARANTUKA, SUARAFLORES.COM,-Pa’u Kaka Bapa adalah upacara ritual adat yang dilakukan setahun sekali oleh masyarakat adat Lewolema, Desa Riangkotek, Kecamatan Lewolema, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Upacara adat tersebut diawali dengan “Hebo Bala” atau memandikan gading pusaka yang disimpan dalam “Lango Bele” (rumah adat) suku Koten.
Saat diwawancarai, Kamis (13/3/2014) malam, Yohanis Suban Koten, tokoh adat Desa Riangkotek, menjelaskan bahwa upacara adat ini dilakukan sekali dalam setahun menjelang musim panen.
Yohanis, menjelaskan, dalam upacara adat ini para tokoh adat membacakan bahasa adat yang menceritakan asal usul suku Koten Lamar Uro dan Lewo/kampung. Pembacaan bahasa adat ini dipimpin oleh salah satu tokoh adat yang disebut “Mara” (pembaca bahasa adat,red) atau diartikan sebagai penyambung bahasa untuk para leluhur suku setempat. Pembacaan bahasa latar ini menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam.
Tokoh ada lainnya, Yan Pati Ritan, menjelaskan,  upacara “Pau Kaka Bapa” ini pun bertujuan untuk menyambut musim panen dan sekaligus mempersatukan keluarga dalam suku tersebut untuk bisa kembali bersatu dalam Lango Bele dengan memberi makan kepada leluhur.
“Upacara ini dihadiri oleh para tokoh adat dan masyarakat setempat”,
Yan menjelaskan, menurut kepercayaan masyarakat adat, sesungguhnya awal mula kehadiran padi berasal dari tubuh seorang perempuan. Ketika itu, seorang perempuan menyerahkan diri untuk dibunuh oleh saudara-saudaranya. Kemudian tubuhnya dipotong-potong dan dijadikan sebagai benih. Saudara-saudaranya lalu memberi nama “Tonu Hujo” yang artinya “padi”. Oleh karena itu, upacara ini sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan.
Uniknya, lanjut Yan, semua anak laki-laki dalam Suku Koten yang baru beristri wajib datang bersama pasangannya dan membawah serta 1 ekor ayam sebagai persembahan kepada leluhur di “Lango Bele” yang merupakan tempat upacara adat berlangsung. Menurut tokoh adat, keterlibatan pasutri bertujuan agar keluarga baru dalam suku tersebut mendapat restu dari leluhur. Dan sang istri dari anak laki-laki dalam suku tersebut menjadi sah masuk dalam suku setempat.
Kedepan, lanjut Yan, keluarga-keluarga baru ini akan hidup bahagia. Tidak ada perselisihan dalam rumah tangga dan tidak ada perceraian karena dipercayai sebagai simbol ikatan yang kuat.
Disaksikan suaraflores.com, ritual adat ini diakhiri dengan memberi makan kepada semua keluarga yang baru menikah di tahun 2014 atau tahun yang sedang berjalan sebagai tanda memasuki musim jewawut baru. Istilah adat pemberian makanan ini disebut Wete Wuun.

rumah adat



      Rumah Adat, Leluhur, dan Lumbung Pangan

Para penari dari setiap suku menari di depan rumah adat sebagai dimulainya upacara adat berauk. Mereka mengelilingi setiap rumah adat, simbol kekuatan, keberhasilan dalam berladang dan kemenangan.
        Setiap rumah adat di Kampung Karawatung, Pulau Solor, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, menyimpan harta warisan leluhur dan sebagai lumbung pangan. Sebanyak 15 suku di kampung itu masing-masing memiliki satu rumah adat. Semua bahan bangunan rumah mempertahankan bahan lokal, kayu dan rumput.
Kelima belas suku itu tersebar di seluruh daratan Pulau Solor dan di luar Solor. Tujuh desa inti sebagai pewaris rumah adat adalah Karawatung, Oyangbarang, Kalike, Kalike Aimatan, Kewuko, Basarani, dan Wulublolong. Desa Karawatung sebagai kakak sulung dengan rumah adat suku di dalamnya sehingga setiap upacara dipusatkan di wilayah itu. Suku-suku ini antara lain Kolin, Koten, Kroon, Moron, Herin, dan Hurit.
Rumah-rumah adat berukuran 20 x 25 meter. Pada setiap rumah ditempatkan 1-5 batang gading gajah yang disebut ”bala” dan berusia ratusan tahun. Batang gading ini tidak boleh dijual. Demikian pula benda pusaka lain seperti emas tua dari India purba disebut ”lodan”; ”moko”, sejenis gelas berukuran besar terbuat dari tembaga tua, dan tenun ikat tradisional.
Kecuali ada kesepakatan suku dan diawali ritual adat, harta benda itu boleh dijual untuk kepentingan suku. Namun, jika ada petunjuk larangan leluhur, maka tidak boleh dijual karena akan berdampak buruk bagi suku itu di kemudian hari, seperti serangan hama tanaman, kegagalan dalam usaha, dan lainnya.
Nilai jual gading mencapai Rp 150 juta per batang, emas Rp 200 juta per kg, dan moko dihargai sekitar Rp 100 juta per buah. Tingginya nilai benda- benda pusaka ini terletak pada nilai adat dan gengsi sosialnya. Nama besar suku ditentukan dari banyaknya harta pusaka.
Karawatung ditempuh dari Larantuka dengan kapal motor (50 menit), ongkosnya Rp 10.000. Tiba di Dermaga Podor, perjalanan dilanjutkan selama 10 menit dengan ojek, sekitar Rp 10.000. Karena tidak ada penginapan, para tamu boleh menginap di rumah adat.
Penutur adat kampung Karawatung, Nie Kolin (81), di Karawatung, Solor, Flores Timur, Sabtu (16/6), mengatakan, keberadaan harta benda peninggalan leluhur diyakini sebagai bagian inti, kekuatan, jiwa, dan roh dari rumah adat tersebut. Tanpa benda-benda ini rumah adat tak bermakna, tak memiliki roh, tidak ditempati leluhur, tidak memiliki kekuatan magis.
Mempertahankan kesakralan rumah adat, kepala suku dan beberapa penatua suku selalu memberi sesajian kepada benda-benda peninggalan tadi. Semakin sering diupacarakan, semakin kuat daya magis rumah adat dan segala sesuatu di dalamnya, termasuk makanan yang disimpan.
Nasi yang dibentuk bulat berukuran satu tempurung disebut "lori", simbol jiwa, roh dan keberhasilan dari setiap anggota suku yang mengambil bagian di dalamnya. Setiap laki-laki wajib menyerahkan tujuh bulatan lori untuk dipersembahkan ke luluhur kemudian dimakan bersama anggota suku.
 
              Pertahanan terakhir
Hasil panen setiap anggota suku, seperti padi, jagung, sorgun, dan umbi-umbian disimpan di salah satu sudut rumah adat. Makanan yang disimpan ini diyakini diberkati leluhur sehingga tidak cepat habis dan tidak mudah rusak. Makanan itu akan memberi kesegaran, kesehatan, dan kesejahteraan bagi mereka yang mengonsumsi karena diberkati leluhur.
”Masing-masing anggota suku menyimpan sesuai takaran yang diumumkan ketua adat atau sesuai kemampuan. Jagung misalnya 1.000-2.000 buah per keluarga, padi gabah kering panen 100-200 kg, sorgun 50-100 kg, dan umbi-umbian 200-500 kg per keluarga. Penentuan itu sesuai jumlah hasil panen tahun tersebut,” jelas Nie.
Lumbung milik suku sebagai pertahanan terakhir saat paceklik tiba. Selama makanan di kebun, rumah tinggal, dan usaha lain masih menghasilkan, pangan itu tidak boleh diambil karena merupakan milik suku.
Lumbung ini juga dimanfaatkan sebagai benih. Benih dari rumah adat ini diyakini akan menghasilkan buah berlimpah karena terhindar dari serangan hama dan tahan terhadap berbagai ancaman alam. Leluhur sendiri merawat dan menjaga tanaman itu.
Meski petani sering dilanda kekeringan, mereka tidak pernah mengalami musim paceklik parah. Selalu ada jalan keluar dalam mengatasi persoalan kekeringan atau rawan pangan. Hasil tangkapan di laut melimpah. Ikan dijual untuk membeli beras dan kebutuhan lain.
Nie menuturkan, pengalaman selama ini stok di rumah adat itu jarang habis sebelum musim panen berikut tiba. Meski daerah lain dilanda busung lapar, tujuh desa yang terikat pada adat berauk dan rumah adat tidak mengalami kelaparan hebat.
Para peserta "berauk" menari keliling setiap rumah adat dengan menggunakan parang panjang sebagai simbol kekuatan dan kemenangan dalam mengusir musuh dalam arti musuh manusia, musuh kemiskinan dan kelaparan.
      
             Jaga kesakralan
Dalam menjaga kesakralan rumah adat, anggota suku dilarang melakukan penyimpangan selama hidup, apalagi pada bulan berauk, syukur atas panen digelar. Mereka yang telah melanggar adat, seperti mencuri, membunuh, dan berzinah harus jujur menyampaikan kesalahan itu kepada kepala suku terlebih dahulu sebelum masuk ke rumah adat.
Pengamatan di kampung itu, rumah adat berbentuk mirip piramida dan berupa rumah panggung. Kolong rumah tidak boleh digunakan untuk memelihara ternak atau menyimpan sesuatu.
Semua anggota suku tidak boleh berbicara kasar atau emosional. Halaman tengah kampung yang disebut namang tidak boleh diinjak sebelum diselenggarakan upacara adat. Tamu dari luar diterima secara sopan, diantar ke penutur adat. Tamu-tamu ditanya maksud kedatangan ke kampung itu.
Tamu disuguhkan arak terbaik yang dituangkan ke dalam tempurung, sekitar 100 cc. Arak itu harus diminum dua kali, yakni saat tiba dan meninggalkan rumah adat (pembukaan dan penutup). Menolak, berarti sang tamu tidak bersahabat dengan arwah leluhur dan warga setempat.
Paulus Pati Kolin, penjaga rumah adat suku Kolin, menuturkan, bangunan rumah tidak boleh menggunakan bahan dari besi atau hasil pabrik. Tiang bangunan dari kayu berkualitas, dinding dari bambu, atap dari alang-alang, tali dari tulang daun lontar atau lainnya, dan lantai dari bambu atau kayu.
”Bisa menggunakan alat bor besi, tetapi setelah itu harus menggunakan kayu keras berbentuk paku untuk menguatkan sambungan antara kayu dan dinding. Apabila ada paku melekat pada kayu, paku segera dicabut atau kayu diganti setelah dibuatkan upacara khusus,” jelas Kolin.
Jika ada anggota suku yang sakit akan dibaringkan di rumah adat itu. Selalu ada keyakinan para leluhur menyembuhkan orang itu. Leluhur hadir dalam bentuk mimpi atau petunjuk lain, seperti menunjukkan obat tradisional tertentu, menyampaikan musuh yang menyerang dalam bentuk roh jahat, dan alasan orang itu sakit atau jika ada kematian.
Sebelum anggota suku bepergian ke tempat jauh, ia harus masuk ke rumah adat, minta izin serta pertolongan dan bimbingan leluhur. Pulang dari tempat jauh pun, dia harus masuk rumah adat. Orang itu harus menyediakan arak, sirih pinang, dan tembakau kasar di tempurung tua, diletakkan di dekat harta warisan leluhur sambil mengucapkan doa adat.

 







keragaman corak dan ragam hias larantuka


Tenun Ikat Flores (Keragaman Corak dan Ragam Hias)

Tenun Ikat Flores (Keragaman Corak dan Ragam Hias), larantuka, flores, flores timur, adonara, tenun ikat flores



Larantuka
 
Kain tenun ikat dengan motif patola mempunyai nilai tinggi. Oleh karena itu, daerah-daerah
tenun di wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki motif-motif patola yang diperuntukkan khusus
bagi kalangan raja-raja, pejabat, dan tokoh adat yang jumlahnya terbatas. Kain tenun Lio
dengan ragam hias patola ini juga hanya dipergunakan di kalangan keluarga kepala adat atau
pendiri kampung yang disebut musalaki. Bahkan kain ini dianggap sangat istimewa hingga ikut
dikuburkan bersama jenazah seorang bangsawan atau raja. Selain itu kain patola dari Lio yang
panjangnya sampai empat meter, yang disebut katipa, digunakan sebagai penutup jenazah.
Menurut P. Sareng Orinbao dalam bukunya Seni Tenun Suatu Segi Keburinycum Orang Flores,

  Lembata
 daerah di Flores bagian timur yang terkenal dengan kain tenun ikatnya adalah
Lembata. Di daerah ini, khususnya daerah Lamalera menurut Ruth Barnes dalam tulisannya
The Bridewealth Cloth of Lamalera Lembata, disebutkan bahwa hanya kain sarung untuk
wanita yang memakai motif ikat yang disebut mofa. Kain sarung wanita itu sendiri disebut
kewatek. Kain sarung untuk laki-laki tidak memakai motif ikat. (Kain sarung untuk wanita
berfungsi sebagai pemberian dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki dalam upacara
perkawinan).
          Ada dua jenis tenunan kain sarung ikat Lembata yaitu kewatek nai rua dan kewatek nai telo.
Kewatek nai rua adalah kain sarung yang tenunannya terdiri atas dua bagian kain yang
digabungkan. Kewatek nai telo adalah kain yang paling tinggi nilainya. Kain ini terdiri atas tiga
bagian yang disambungkan menjadi satu sarung.
Kain Sarung Lembata
          Tenun Lembata mempunyai ciri khas dengan dua atau tiga sambungan. Kain ini dipergunakan
sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dari pihak keluarga perempuan, dan
dipertukarkan dengan gelang-gelang dari gading gajah yang sangat berharga yang diberikan
oleh keluarga pihak laki-laki. Semua jenis mas kawin ini merupakan warisan yang diberikan
turun-temurun. ( sumber : orangflores )

Tentang Kain Tenun Ikat adonara - flores timur

Tradisi pembuatan kain tenun ikat khususnya masyarakat Flores Timur dilakukan secara turun temurun, dari generasi ke generasi baik teknik pembuatannya maupun nilai dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Bagi masyarakat di sana, kain tenun ikat bukan sekedar busana yang dikenakan sehari-hari, ataupun souvenir saja, namun juga berfungsi sebagai penanda identitas etnis, belis atau mahar perkawinan mereka. Dalam tradisi masyarakat di sana, pada saat pernikahan, seorang pria akan memberikan belis berupa gading gajah, sedangkan sebaliknya pihak perempuan akan menyerahkan selembar kain tenun ikat yang dibuat secara tradisional. Selain itu, fungsi kain tenun ikat juga sebagai bekal kubur yang disertakan pada seseorang yang meninggal dan dibawa ke liang lahat.

prosesi jumad agung

Ziarah ke Wure Menjelang Prosesi Jumat Agung di Larantuka



Salah satu rangkaian acara prosesi Jumad Agung tiap tahun di Kota Reinha Rosari Larantuka, Flores Timur NTT adalah “ziarah ke Wure.” Wure adalah salah satu desa yang terletak di tepi pantai, Kecamat13107094841356212428an Adonara Barat. Wure, dari Kota Rowido atau Sarotari hanya 45 menit dengan kapal motor kecil, milik warga setempat. Ke Wure, kita harus melewati sebuah selat yang sering disebut warga setempat dengan nama selat Weri, karena selat itu berhadapan dengan nama sebuah desa setempaat.
Wure, bukan sebuah tempat di Adonara Barat bahkan di Larantuka yang asing didengar. Wure dikenal selain sebagai penghasil kelapa dan kacang-kacangan, juga merupakan sebuah tempat yang dikenal sebagai tempat penyimpanan barang-barang rohani peninggalan Portugis. Bahkan bukan hanya itu saja, tapi dengan letak Wure yang strategis di tepi pantai dan memiliki modal peninggalan Portugis, Wure ke depan bisa berpotensi menjadi salah satu tempat wisata rohani yang bagus.
Menjelang prosesi Jumad Agung setiap tahun di kota yang berpelindungkan Sta.Maria Reinha Rosari, umat Katolik baik di Paroki San Juan Lebao maupun Paroki Katedral Reinha Rosari mempunyai kebiasaan yang mentradisi bahwa pada hari Rabu Trewa dan Kamis Putih pagi hingga siang hari, berziarah ke Wure. Umat ziarah ke Wure untuk memanjatkan doa dan pujian serta memohonkan ujud-ujud khusus di hari Semana Santa (dibaca: pekan suci). Ziarah ke Wure pun bukan hanya umat Katolik di Larantuka dan Lebao lagi, tetapi juga untuk semua peziarah yang datang dari luar Larantuka.
Para peziarah yang datang mengikuti prosesi Jumad Agung di Larantuka, bisa berziarah ke Wure. Para peziarah memakai mobil angkot ataupun kendaraan cartheran dari terminal Kota Larantuka menuju pantai Kota Rowido atau Sarotari. Di tepi pantai itu, telah ada kapal motor milik warga setempat yang siap mengantar para peziarah ke Wure. Harganya pada 20 April 2011, sangat murah. Perorang hanya lima ribu rupiah, sekali antar. Jadi kalau pergi-pulang, sepuluh ribu rupiah.
1310709657312435755
kapel wure tlah berumur 5 abad, peninggalan portugis.
Kondisi kapal motor milik warga tersebut hanya memuat penumpang sebanyak belasan atau dua puluhan orang. Kapal motor itu terbuat dari kayu. Ada juga kapal motor yang cukup besar. Itu hanya khusus bagi umat yang dari jauh seperti Waiwerang, Kota Larantuka ataupun Waibalun dan sekitarnya. Kapal motor itu, biasanya setiap hari dipakai pemiliknya untuk memancing dan memukat ikan. Kapal motor itu lebih tepat dikatakan, milik para nelayan. Mereka memanfaatkan pada hari bae untuk mengankut penumpang, para peziarah ke Wure. Bahkan kapal motor warga itu dipakai juga untuk perarakan laut ”Tuan Menino” dari Kota Rowido menuju Pantai Uce, Larantuka untuk kemudian disemayamkan di kota Larantuka.

upacara pernikahan



PROSES ADAT PERNIKAHAN DI LARANTUKA





Sebagai sebuah masyarakat yang menyimpan berbagai macam warisan budaya dan adat istiadat,Larantuka sebagai sebuah kota di Flores Timur masih menyimpan beberapa kegiatan kebudayaan.Perkawinan sebagai ritual adat menggambarkan sebuah kearifan budaya Lamaholot yang sejak turun temurun diwariskan nenek moyang.Sebagai kota yang kental dengan kehidupan beragama dan budaya portugisnya,proses perkawinan di Larantuka menempati  posisi tersendiri dalam khasanah kebudayaan lamaholot .Pesta perkawinan menjadi pesta besar setelah pesta penerimaan sakramen ekaristi (sambo baru).Tahap yang dijalankanpun tergolong panjang.

Maso minta/tongka Tanya

Proses ini mengawali proses menuju perkawianan.Dalam proses ini keluarga dari pihak laki-laki akan menyambangi kediaman perempuan.Orang tua dari laki-laki beserta keluarga besar nya setelah menanyakan keseriusan anaknya bermaksud untuk memperkenalkan diri kepada keluarga perempuan.Juru bicara dari pihak laki-laki akan menjelaskan maksud kedatangan keluarga besar mereka dan meminta ijin kiranya pihak perempuan berkenan merestui anaknya untuk menjalin hubungan dengan anak mereka.Biasanya dalam proses ini belum dibicarakan secara serius tentang kelanjutan hubungan kedua pasangan,hanya sekedar silahturahmi dan berkenalan.Kadang pada proses ini sudah mulai dibicarakan tentang belis/mahar yang harus dipenuhi pihak laki-laki.
Tarian menyambut pengantin
Pertunangan/Tuka Cince

Ketika dilihat bahwa hubungan anak mereka dengan gadis pujaan hatinya sudah memasuki tahap serius maka keluarga bersiap untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya.Orang tua laki-laki akan kembali mengumpulkan keluarga besarnya dan bersama-sama mereka mendatangi pihak perempuan.Sebelum kedatangan umumnya keluarga wanita  diberitahukan terlebih dahulu sehingga telah ada persiapan.Ketika memasuki proses ini maka pasangan sudah terikat.Cincin dipersiapkan sebagai lambang mengikatkan cinta kedua anak mereka dan kedua keluarga besar.Kedua keluarga juga membicarakan proses selanjutnya,setelah cincin dikenakan oleh masing-masing pasangan.Kedua keluarga besar secara resmi sudah dipersatukan dan ketika ada hajatan diantara keduanya maka mereka akan saling mengundang.Perempuan dengan sendirinya harus lebih sering diperhatikan laki-laki dengan menyiapkan segala yang menjadi kebutuhannya.Pada proses ini kadang selain membawa cincin keluarga laki-laki juga membawa perlengkapan lainnya seperti  perhiasan emas yang akan dikenakan wanita.Kesempatan ini juga dipakai untuk membicarakan belis/mahar yang harus disiapkan mempelai laki-laki.Ketika sudah memasuki proses ini, bila sebelum terjadi pemberkatan nikah salah satu pasangan melanggar maka akan dikenakan denda.Denda dikenakan  sesuai kesepakatan dan pembicaraan diantara kedua keluarga sesuai tuntutan keluarga yang dikhianati. Sering disebut sebagai tanda Tuto Malu atau menjadi pelajaran agar tidak menyepelehkan/melanggar kesepakatan.

Tuli Nama

Tuli nama/tulis nama merupakan kegiatan mencatatkan nama pasangan di Gereja untuk mengikuti pemberkatan nikah.Peraturan gereja katolik mewajibkan pasangan untuk mengikuti kursus perkawinan sebelum menikah.Setelah itu pasangan yang akan menikah diumumkan dalam tiga minggu berturut-turut namanya diumumkan di Gereja asal pasangan.Melengkapai proses di Gereja kedua keluarga kembali bertemu dan mulai berbicara serius mengenai kegiatan pernikahan.Detail acara dan perlengkapan yang diperlukan sudah mulai dibicarakan dalam kesempatan ini.Kedua keluarga berkumpul  sambil menikamati hidangan yang disediakan pihak wanita.Tanggal pernikahan mulai ditetapkan.

Anta Sire Pinang

Setelah pengumuman ketiga di Gereja  dan dipastikan pernikahan sesuai jadwal yang ditentukan,sehari sebelum pemberkatan pernikahan (biasanya malamnya dilanjutkan dengan resepsi pernikahan) digelar proses anta sire pinang.Proses ini di banyak daerah sering disebut dengan “antar seserahan”.Dahulu pada acara ini selalu diiringi kelompok musik dengan perlengkapan musik,gendang,suling,juk/okulele,gitar dan biola  sambil membawakan lagu Lui E dan lagu daerah lainnya.Dalam proses ini keluarga laki-laki akan menghantar belis/mahar juga segala perlengkapan pernikahan dan pesta pernikahan kepada keluarga wanita.Baju pengantin dan semua perlengkapan pakaian  yang akan dikenakan mempelai wanita disiapakan dari ujung rambut sampai ujung kaki.Binatang yang akan disembelih.Beras dan perlengkapan makanan lainnya beserta peralatan memasak.Juga tak lupa kayu bakar.Sebelum memasuki rumah mempelai wanita,di depan pintu rumah perwakilan keluarga calon pengantin pria akan dijemput oleh perwakilan keluarga calon pengantin wanita.Wakil keluarga pria akan menuangkan arak di gelas dan memberikan kepada wakil keluarga wanita.Setelah wakil keluarga calon mempelai waniat menenggak arak yang diberikan,wakil keluarga pria akan memberikan belis (uang/gading sesuai kespakatan kedua keluarga) dan diterima wakil dari keluarga wanita.Wakil keluarga wanita umumnya akan membalas  dengan memberikan sarung (tenun ikat Flores timur)satu atau dua lembar atau cindera mata lain(tergantung kesepakatan keluarga wanita).Setelah upacara serah-serahan hantaran selesai dilanjutkan dengan santap malam menikmati hidangan yang disediakan keluarga calon pengantin wanita.
Suasana pesta nikah di Flores

Kumpo Kao 

(Bukan termasuk tahapan pernikahan tetapi proses yang mengikutinya).Beberapa jam sebelumnya di tenda pesta keluarga dari calon pengantin pria dan wanita akan menerima tamu dari keluarga yang mengantar pemberian berupa uang dan binatang (anta  bagian)yang dikumpulkan (urung rembuk)memberikan bantuan/partisipasi (kumpo kao).Kumpo kao merupakan adat kebaiasaan yang dilakukan keika ada pesta pernikahan atau ada kematian.kumpo kao dimaknai sebagai sambo tangan (ikut berkontribusi) membantu  dengan memberikan uang sesuai  kemampuan.Kumpo kao hanya untuk keluarga besar dari yang empunya hajat/yang ada hubungan kekerabatan.Keluarga menyiapkan jamuan makan dan minum untuk rombongan kumpo kao sebagai ucapan terima kasih.Biasanya keluarga yang hadir pada saat ini kebanyakan tidak mengikuti jamuan pernikahan (pesta pernikahan) besoknya.

Bua Tenda

(Bukan termasuk proses pernikahan tetapi proses yang mengikutinya).Dua atau tiga hari sebelum anta sire pinang dan pesta pernikahan keluarga dari calon mempelai pria dan wanita akan mengundang kaum laki-laki sedesa dan keluarga dekat untuk berpartisipasi dalam proses mendirikan tenda yang akan dipaki untuk pesta.Tenda yang dibuat biasanya memakai terpal sebagai penutupnya (dulu memakai seng atau daun kelapa)dengan  tiang penyangga dari bambu atau balok kayu.Juga dibuat panggung memakai balok kayu atau drum.Semua bergotong-royong mendirikan tenda dan mengambil bangku/kursi untuk ditempatkan di tenda.Besok sebelum pesta beberapa orang yang terbiasa membuat dekorasi akan begadang membuat dekorasi tenda dan panggung latar tempat duduk pengantin.Pada pesta perkawinan yang digelar biasanya setelah acara sambutan dan santap malam dilanjutkan dengan joget atau menari.Ada dolo-dolo,roko  tenda ,cha-cha,teras,jai,dansa,juga joget dengan berbagai irama music.Tua muda berbaur bergembira bersama.Yang muda sering sampai pagi,tergantung dari tuan rumah kapan pesta harus berakhir.

Lepa Bujang

Proses pernikahan yang terakhir yang dijalani,tapi sekarang bukan merupakan sebuah kewajiban jadi  tergantung kepada keluarga mau dirayakan atau tidak.Proses ini merupakan proses perpisahan atau pernyataan bahwa kedua mempelai telah memasuki kehidupan berumahtangga, bukan sendiri lagi/bujang.kesempatan ini juga diperguanakan sebagai ajang ucapan terima kasih dari keluarga dan kedua mempelai  kepada teman,saudara,tetangga dan handai taulan yang membantu sehingga acara pernikahan terlaksana.
Pernikahan dengan  segala proses yang  mengikutinya menjadi sebuah perjalanan panjang dan sebuah peristiwa kebudayaan yang  telah lama hidup dan dijalankan oleh para leluhur dan kemudian mereka wariskan kepada kita.Mewarisi kebudayaan mencerminkan kita sebagai masyarakat adat yang masih menjaga nilai-nilai luhur tersebut.Menjalankannya membuat kita sebagai manusia yang tahu adat atau mencintai adat istiadat yang memberikan kebaikan bagi kehidupan..Tabe

Rabu, 12 Maret 2014

sejarah larantuka

Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti pulau naga dalam bahasa lokal,[2] sedangkan dalam bahasa Portugis: Cabo de Flores [3] yang sekarang disebut sebagai pulau Flores[4] dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao [5][6] yang disebut sebagai perdagangan monopoli penghasil kayu cendana[7] dan wilayah kekuasaan kerajaannya meliputi sampai Kerajaan Adonara.[8] dengan raja pertama bernama Lorenzo I [9]
Berdasarkan legenda setempat, keturunan raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan Wehale Waiwiku dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari gunung Ile Mandiri.[10] Wanita tersebut disebut sebagai Tuan Ma yang tidak lain adalah Bunda Maria.[11] Karena terdapat sebuah arca Tuan Ma (patung Tuan Ma)yang diyakini sebagai penjelmaan langsung dari Bunda Maria.[11] Menurut cerita legenda Resiona (seorang penduduk asli Larantuka) adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih yang terdampar di bibir Pantai Larantuka.[11] Konon, tujuan orang Portugis membawa Resiona ke Malaka adalah untuk belajar agama Katholik.