Para
penari dari setiap suku menari di depan rumah adat sebagai dimulainya
upacara adat berauk. Mereka mengelilingi setiap rumah adat, simbol
kekuatan, keberhasilan dalam berladang dan kemenangan.
Setiap
rumah adat di Kampung Karawatung, Pulau Solor, Flores Timur, Nusa
Tenggara Timur, menyimpan harta warisan leluhur dan sebagai lumbung
pangan. Sebanyak 15 suku di kampung itu masing-masing memiliki satu
rumah adat. Semua bahan bangunan rumah mempertahankan bahan lokal, kayu
dan rumput.
Kelima belas suku itu tersebar di seluruh
daratan Pulau Solor dan di luar Solor. Tujuh desa inti sebagai pewaris
rumah adat adalah Karawatung, Oyangbarang, Kalike, Kalike Aimatan,
Kewuko, Basarani, dan Wulublolong. Desa Karawatung sebagai kakak sulung
dengan rumah adat suku di dalamnya sehingga setiap upacara dipusatkan di
wilayah itu. Suku-suku ini antara lain Kolin, Koten, Kroon, Moron,
Herin, dan Hurit.
Rumah-rumah adat berukuran 20 x 25
meter. Pada setiap rumah ditempatkan 1-5 batang gading gajah yang
disebut ”bala” dan berusia ratusan tahun. Batang gading ini tidak
boleh dijual. Demikian pula benda pusaka lain seperti emas tua dari
India purba disebut ”lodan”; ”moko”, sejenis gelas berukuran besar
terbuat dari tembaga tua, dan tenun ikat tradisional.
Kecuali
ada kesepakatan suku dan diawali ritual adat, harta benda itu boleh
dijual untuk kepentingan suku. Namun, jika ada petunjuk larangan
leluhur, maka tidak boleh dijual karena akan berdampak buruk bagi suku
itu di kemudian hari, seperti serangan hama tanaman, kegagalan dalam
usaha, dan lainnya.
Nilai jual gading mencapai Rp 150
juta per batang, emas Rp 200 juta per kg, dan moko dihargai sekitar Rp
100 juta per buah. Tingginya nilai benda- benda pusaka ini terletak pada
nilai adat dan gengsi sosialnya. Nama besar suku ditentukan dari
banyaknya harta pusaka.
Karawatung ditempuh dari
Larantuka dengan kapal motor (50 menit), ongkosnya Rp 10.000. Tiba di
Dermaga Podor, perjalanan dilanjutkan selama 10 menit dengan ojek,
sekitar Rp 10.000. Karena tidak ada penginapan, para tamu boleh menginap
di rumah adat.
Penutur adat kampung Karawatung, Nie
Kolin (81), di Karawatung, Solor, Flores Timur, Sabtu (16/6),
mengatakan, keberadaan harta benda peninggalan leluhur diyakini sebagai
bagian inti, kekuatan, jiwa, dan roh dari rumah adat tersebut. Tanpa
benda-benda ini rumah adat tak bermakna, tak memiliki roh, tidak
ditempati leluhur, tidak memiliki kekuatan magis.
Mempertahankan
kesakralan rumah adat, kepala suku dan beberapa penatua suku selalu
memberi sesajian kepada benda-benda peninggalan tadi. Semakin sering
diupacarakan, semakin kuat daya magis rumah adat dan segala sesuatu di
dalamnya, termasuk makanan yang disimpan.
Nasi
yang dibentuk bulat berukuran satu tempurung disebut "lori", simbol
jiwa, roh dan keberhasilan dari setiap anggota suku yang mengambil
bagian di dalamnya. Setiap laki-laki wajib menyerahkan tujuh bulatan
lori untuk dipersembahkan ke luluhur kemudian dimakan bersama anggota
suku.
Pertahanan terakhir
Hasil
panen setiap anggota suku, seperti padi, jagung, sorgun, dan
umbi-umbian disimpan di salah satu sudut rumah adat. Makanan yang
disimpan ini diyakini diberkati leluhur sehingga tidak cepat habis dan
tidak mudah rusak. Makanan itu akan memberi kesegaran, kesehatan, dan
kesejahteraan bagi mereka yang mengonsumsi karena diberkati leluhur.
”Masing-masing
anggota suku menyimpan sesuai takaran yang diumumkan ketua adat atau
sesuai kemampuan. Jagung misalnya 1.000-2.000 buah per keluarga, padi
gabah kering panen 100-200 kg, sorgun 50-100 kg, dan umbi-umbian
200-500 kg per keluarga. Penentuan itu sesuai jumlah hasil panen tahun
tersebut,” jelas Nie.
Lumbung milik suku sebagai
pertahanan terakhir saat paceklik tiba. Selama makanan di kebun, rumah
tinggal, dan usaha lain masih menghasilkan, pangan itu tidak boleh
diambil karena merupakan milik suku.
Lumbung ini juga
dimanfaatkan sebagai benih. Benih dari rumah adat ini diyakini akan
menghasilkan buah berlimpah karena terhindar dari serangan hama dan
tahan terhadap berbagai ancaman alam. Leluhur sendiri merawat dan
menjaga tanaman itu.
Meski petani sering dilanda
kekeringan, mereka tidak pernah mengalami musim paceklik parah. Selalu
ada jalan keluar dalam mengatasi persoalan kekeringan atau rawan pangan.
Hasil tangkapan di laut melimpah. Ikan dijual untuk membeli beras dan
kebutuhan lain.
Nie menuturkan, pengalaman selama ini
stok di rumah adat itu jarang habis sebelum musim panen berikut tiba.
Meski daerah lain dilanda busung lapar, tujuh desa yang terikat pada
adat berauk dan rumah adat tidak mengalami kelaparan hebat.
Para
peserta "berauk" menari keliling setiap rumah adat dengan menggunakan
parang panjang sebagai simbol kekuatan dan kemenangan dalam mengusir
musuh dalam arti musuh manusia, musuh kemiskinan dan kelaparan.
Jaga kesakralan
Dalam
menjaga kesakralan rumah adat, anggota suku dilarang melakukan
penyimpangan selama hidup, apalagi pada bulan berauk, syukur atas panen
digelar. Mereka yang telah melanggar adat, seperti mencuri, membunuh,
dan berzinah harus jujur menyampaikan kesalahan itu kepada kepala suku
terlebih dahulu sebelum masuk ke rumah adat.
Pengamatan
di kampung itu, rumah adat berbentuk mirip piramida dan berupa rumah
panggung. Kolong rumah tidak boleh digunakan untuk memelihara ternak
atau menyimpan sesuatu.
Semua anggota suku tidak boleh
berbicara kasar atau emosional. Halaman tengah kampung yang disebut
namang tidak boleh diinjak sebelum diselenggarakan upacara adat. Tamu
dari luar diterima secara sopan, diantar ke penutur adat. Tamu-tamu
ditanya maksud kedatangan ke kampung itu.
Tamu
disuguhkan arak terbaik yang dituangkan ke dalam tempurung, sekitar 100
cc. Arak itu harus diminum dua kali, yakni saat tiba dan meninggalkan
rumah adat (pembukaan dan penutup). Menolak, berarti sang tamu tidak
bersahabat dengan arwah leluhur dan warga setempat.
Paulus
Pati Kolin, penjaga rumah adat suku Kolin, menuturkan, bangunan rumah
tidak boleh menggunakan bahan dari besi atau hasil pabrik. Tiang
bangunan dari kayu berkualitas, dinding dari bambu, atap dari
alang-alang, tali dari tulang daun lontar atau lainnya, dan lantai dari
bambu atau kayu.
”Bisa
menggunakan alat bor besi, tetapi setelah itu harus menggunakan kayu
keras berbentuk paku untuk menguatkan sambungan antara kayu dan dinding.
Apabila ada paku melekat pada kayu, paku segera dicabut atau kayu
diganti setelah dibuatkan upacara khusus,” jelas Kolin.
Jika
ada anggota suku yang sakit akan dibaringkan di rumah adat itu. Selalu
ada keyakinan para leluhur menyembuhkan orang itu. Leluhur hadir dalam
bentuk mimpi atau petunjuk lain, seperti menunjukkan obat tradisional
tertentu, menyampaikan musuh yang menyerang dalam bentuk roh jahat, dan
alasan orang itu sakit atau jika ada kematian.
Sebelum
anggota suku bepergian ke tempat jauh, ia harus masuk ke rumah adat,
minta izin serta pertolongan dan bimbingan leluhur. Pulang dari tempat
jauh pun, dia harus masuk rumah adat. Orang itu harus menyediakan arak,
sirih pinang, dan tembakau kasar di tempurung tua, diletakkan di dekat
harta warisan leluhur sambil mengucapkan doa adat.